Estetika
dalam pengertian konvensional tidak hanya mengacu pada keindahan, tetapi
estetika menjadi sebuah wacana dan fenomena (Sachari 2002: 2). Dewasa ini
estetika menjadi wacana bahwa banyak budaya barat yang secara menggebu-nggebu
masuk ke dalam budaya timur. Konsep estetika barat masuk bersama budaya
tersebut. Sehingga para ahli estetika atau para budayawan yang membincangkan
hal tersebut.
Beberapa
pengertian estetika dan lingkupnya yang dikutip dari Sachari (2002: 3) dapat
dicermati di bawah ini:
- Estetika
adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan seni (Kattsoff, Element of Philosophy, 1953).
- Estetika
merupakan suatu telatah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan
kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengayn kegiatan
manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (van Mater Ames, Colliers
Encyclopedia, vol. 1).
- Estetika
merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya
estetis (John Hosper, dalam Estetika Terapan, 1989).
- Estetika
mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat
seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni, atau artifak yang
disebut seni (Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, 2000).
Kata
estetika dikutip dari bahasa Yunani, yakni aisthetikos atau aisthanomai yang
memiliki arti “mengamati dengan indera” (Lexicon Webster Dic dalam Triyanto
2010: 4). Estetika dalam pandangan Feldman merupakan ilmu pengetahuan
pengamatan atau ilmu pengetahuan inderawi yang mengacu pada kesan-kesan
inderawi. J. Addison menyandingkan estetika dengan teori cita rasa yang mengacu
pada tradisi empiris dan pandangan platonis dan neoplatonis. Demikian halnya
Dickie (1989) mengembangkan teori tentang estetika yang dibagi menjadi lima
bagian, yakni:
(a) persepsi,
(b) cita rasa,
(c) produk mental,
(d) objek
pengamatan, dan
(e) pertimbangan rasa.
Bila dilihat berdasarkan struktur yang
dibuat oleh Dickie maka teori pengamatan atau inderawi identik dengan teori
cita rasa.
Menurut
Jerome Stolnitz (dalam Triyanto 2010: 5) estetika merupakan suatu telaah
filsafat keindahan dan keburukan. Stolnitz mengatakan bahwa estetika adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral yang
berkaitan dengan karya seni. Sedangkan John Hosper mengartikan estetika sebagai
salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya
estetis, estetika tidak hanya sekedar mempermasalahkan tentang objek seni,
melainkan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan suatu karya yang indah.
Dalam hal ini, Aristoteles merumuskan keindahan sebagai suatu yang baik dan menyenangkan.
Sementara itu, orang Yunani menyatakan bahwa keindahan berkaitan dengan tradisi
atau adat kebiasaan. Oleh karena itu, estetika secara luas berkaitan dengan
keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan
intelektual.
Keterkaitan Antara Estetika Dan
Karya Seni
Antara estetika dan karya seni
memiliki hubungan yang kuat seakan tidak bisa dipisahkan oleh suatu jarak. Hal
ini disebabkan karena adanya satu kesatuan antara estetika dan karya seni. Satu
kesatuan tersebut amatlah bermakna dan menjadi sesuatu yang mendasar. Dalam hal ini akan memunculkan
sebuah konsep yang biasa disebut dengan the
beauty and the ugly yang merupakan perkembangan lebih lanjut yang
menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia
berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh
pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan,
yaitu the beauty, suatu karya yang
memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar
keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika
dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.
Sejarah penilaian keindahan sudah dinilai begitu karya
seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang
terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari
proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan
datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. Tokoh-tokoh ahli
falsafah barat klasik seperti Plato, Aristoteles, dan Hegel meneliti tentang
persoalan keindahan melalui pembicaraan dalam bentuk estetika. Misalnya Plato
dalam bukunya Symposium telah menghuraikan panjang lebar mengenai persoalan
objek cinta ialah keindahan. Dalam bukunya itu beliau menyampaikan dalam bentuk
dialog-dialog watak utama seperti Phaedrus, Eryximachus, Aristophanes, Agathon
dan Socrates. Terang-terang dalam dialog watak ini menyatakan bahawa proses
mencintai tentang keindahan itu perlu diasaskan pada zaman kanak-kanak lagi.
Sebenarnya bangsa Yunani kuno telah menghayati
pengalaman keindahan sebagai mewarisi bangsa mereka. Bangsa Yunani juga
mengenal kata keindahan dalam arti estetik yang disebutnya sebagai symmetria untuk keindahan visual.
Sementara perkataan harmonia adalah
keindahan pendengaran. Lantaran itu pengertian keindahan adalah meliputi
persoalan keindahan seni, alam, moral, dan intelektual.
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara
sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, yaitu tentang
terbentuknya suatu keindahan dan seseorang bisa merasakannya. Antara estetika
dan karya seni memiliki hubungan yang kuat seakan tidak bisa dipisahkan oleh
suatu jarak. Hal ini disebabkan karena adanya satu kesatuan antara estetika dan
karya seni. Satu kesatuan tersebut amatlah bermakna dan menjadi sesuatu yang mendasar.
Sejak jaman Yunani Kuno, ahli-ahli falsafah telah
membicarakan tentang kesenian dan hubungannya dengan seniman. Sebagai contoh
Plato dengan tegasnya tidak menerima para seniman dan menyatakan bahwa para
seniman sepatutnya dibuang dari republik atau negeri. Alasan beliau bahwa
seniman adalah seorang yang suka meniru objek fisikal dan menipu dalam
penghasilan karya. Karya seniman bukanlah sesuatu sumber sebenar untuk
dijadikan sumber pengetahuan. Sebagai contoh dalam dialognya berkata, kalau
manusia ingin mengkaji kursi mesti melihat kursi sebenarnya bukan lukisan atau
karya kursi. Beliau juga menyatakan bahawa karya lukisan boleh menjadi
menghalang manusia daripada pengetahuan sebenarnya. Oleh karena itu beliau
membicarakan persoalan kesenian dalam falsafah kehidupan manusia. Sementara itu
Aristoteles telah mempertahankan mengenai mimesis
dan menyatakan bahwa peniruan itu adalah satu unsur yang perlu dan ada dalam
fitrah manusia. Pada dasarnya manusia sering meniru alam ciptaan Tuhan.
Dari berbagai Sumber